Friday, May 28, 2010

Kenangan Santri

Iftitah
Tak terasa airmataku meleleh ketika membaca tulisan 'In Memoriam' Ustadz Hud Abdullah Musa, yang kutulis lima tahun lampau. Rasanya baru kemarin, kusimak sosok teduh berwibawa berwawasan luas ini mengucurkan ilmunya dikelas. Rasanya, baru kemarin aku menyimak terpana orasi khutbah dan pengajiannya di Masjid Manarul Islam, Bangil, Jawa Timur.  Ya Allah, ampuni segala kesalahanya dan kumpulkan beliau dalam barisan para ulama, syuhada' dan shalihin. (Dave)

Assalamu’alaikum wr,wb.

In Memoriam: Ustadz ‘Ayahanda’ Hud Abdullah Musa*



      Ustadz Hud, begitu sapaan akrab para santrinya pada sosok pendidik sejati ini. Tak heran bila beliau selalu akrab dengan semua kalangan. Kediamannya terbuka setiap waktu bagi siapa saja yang ingin silaturrahim. Selain menjadi pengasuh sebuah pesantren ‘kaum tajdid’ ditengah kota Bangil. Beliau juga sibuk mengisi pengajian mahasiswa dikampus-kampus. Belum lagi undangan dari masyarakat yang membutuhkan beliau.

     Saya tidak habis mengerti, kenapa wong Bangil selalu bilang:”Iku arek pesantren”. Setiap kali mereka menyebut kata pesantren, selalu identik dengan para santri penghuni bangunan tua bekas rumah sakit sumbangan Pak Natsir tersebut. Rupanya panggilan ‘arek pesantren’- meminjam istilah Pak Wildan, khusus sebutan bagi  warga ‘Pabrik Manusia Masa Depan’  yang persis terletak dipinggir  ruas jalan raya Surabaya-Banyuwangi.

     Dua tahun belakangan pesantren sibuk bersolek, dimulai pilot project pembangunan fisik dan non fisik. Rencananya, akan hadir sebuah ‘kawasan santri’ terpadu, lengkap dengan sarana dan prasarana modern. Orang-orang mungkin, terperangah melihat bangunan
yanga semula tua, disulap berubah wajah menjadi sebuah ‘kota santri’ yang serba canggih. Mungkin para alumni terkejut, karena tidak memiliki secuil nostalgia pun dengan bangunan tua yang pernah menemani  mereka selama bertahun-tahun.

      Begitulah dinamika dunia pesantren berbenah menyongsong era multi media. Boleh jadi semacam cermin sikap untuk selalu dinamis mengikuti perkembangan jaman. Nampaknya dunia santri tidak mau terlanjur lekat dengan streotipe ‘kaum sarungan’ lagi, karena terkesan kolot dan ketinggalan jaman. Perubahan harus dimulai dari pembenahan internal hingga eksternal. Sikap wajar yang mesti dimiliki sebuah institusi pendidikan Islam.

     Diantaranya, sosok Ustadz Hud, merupakan lokomotif penarik gerbong-gerbong perubahan tadi. Tak usah heran bila sosok satu ini ‘berani’ menentang arus, bahkan berusaha membongkar ‘pakem-pakem’ yang terlanjur mentradisi- (‘mendarah-daging’) pada kaum pesantren yang terkenal dengan gerakan purifikasi. Ada suara bahwa gerakan kaum pembaharu tidak baharu lagi. Sosok yang juga berusaha ‘mencairkan’ hubungan Bandung-Bangil. Begitu pula berupaya memperbaiki hubungan ‘PERSIS-Pemerintah’ yang lama tak harmonis. Pembenahan pesantren pun dimulai dengan penataan manajemen dan kurikulum pesantren, mengadopsi ujianpersamaan negeri, menggulir keterbukaan pesantren hingga membudayakan dialog (demokratisasi). Ditandai dengan kunjungan para pejabat dari tingkat daerah hingga pusat. Bahkan Menteri Agama menyempatkan diri ‘berbuka puasa’ bersama kalangan santri.

      Saya masih ingat, ketika salah seorang pejabat kabupaten bercerita:”Seumur hidup saya baru pertamakali saya menginjak kaki dipesantren ini, bahkan sekarang menjadi salah seorang tamu”. Sebab kata orang sih, pesantren ini terkesan ‘seram’ karena selalu bersikap tegas dan keras. Lalu Mudir Pesantren menjawab diplomatis,:”Memang betul, jika pesantren ini selalu terkesan ‘keras’ sampai kapan pun, tapi selalu keras dan tegas terhadap komunisme, aliran sesat dan menyimpang”. Saya teringat pejabat tersebut mengulum senyum cerah mendengar jawaban dari sang Mudir tersebut.

     Tokoh yang lekat dihati umat merupakan sedikit dari kalangan pesantren yang fasih berbahasa Inggris selain bahasa Arab. Seorang  orator ulung yang membuat audiens betah ‘berlama-lama’ mendengar khutbahnya. Pengetahuan keagamaan yang begitu luas, dipadu penguasaan ilmu-ilmu humaniora membuat dakwahnya selalu aktual dan relevan dengan perkembangan jaman.
Biasanya, khutbah-khutbah Jum’at berlangsung menoton dan bikin kantuk. Tapi bila sosok dai ini bicara, maka jarang ditemui jama’ah yang terlelap. Seringkali, mereka tak sadar bila khutbah Jum’at telah usai. Memang sebuah  kelebihan yang Allah karuniakan pada sosok teduh nan berwibawa.

      Diambang suatu senja pertengahan Juli 1999, saya pernah dipanggil sendirian kerumah beliau. Saya tak menyangka bila saat itu beliau mengajak saya berbicara tentang pesantren dan kehidupan santrinya. Antum sebagai anak tertua (kelas akhir), seharusnya tahu apa yang inginkan adik-adik antum. Saya dengar mereka mengeluh, apa sih yang sebenarnya diminta mereka? Saya mau dengar langsung dari antum sendiri, tanpa basa-basi saya sampaikan apa saja yang dikeluhkan para santri. Bahkan saya tidak hanya sekedar menyampaikan keluhan, saran dan kritik pun saya tumpahkan pada beliau. Saya heran, tidak sedikit pun beliau marah, bahkan melayani pembicaraan saya dengan lembut dan penuh keakraban. Rupanya beliau tetap terbuka untuk dikritik oleh siapapun. Saya teringat ketika seorang teman pernah ‘berdebat’ dengan beliau dikelas. Tapi dengan tenang beliau menjawab satu persatu dalih teman tersebut.

      Seusai pertemuan ‘empat mata’ tersebut, saya ditugasi beliau untuk mengumpulkan saran, masukan –bahkan kritik dari teman-teman. Beberapa minggu kemudian, saya kembali lagi dengan membawa segepok tulisan teman-teman. Bahkan saya sendiri, merasa perlu untuk menuliskan sebuah tulisan berjudul:”Sumbangan Pemikiran Buat Pesantren PERSIS Bangil”. Dan beliau pun tersenyum bahagia ketika menerima tulisan dari teman-teman lainnya.

      Saya pernah dua kali ‘menyertai’ beliau turun jalan di alun-alun kota Bangil. Pertama, ketika para santri-mahasiswa demo damai diawal-awal  masa reformasi yang disuarakan mahasiswa tahun 1998. Ketika itu publik Bangil amat dihantaui amuk massa, bahkan dalam sebuah mimbar Jum’at ada himbaun agar tidak ikut-ikutan demo dan langsung balik ke rumah sepulang sholat Jum’at. Padahal ditengah iklim politik yang serba tak menentu. Kedua, ketika Tabligh Solidaritas Muslim Ambon digelar di alun-alun lagi, disesaki para masyarakat yang menghadiri orasi-orasi para alim-ulama, habaib, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya.

      Saya mendapati keteladan moral dan sikap dari beliau, saya ingat dalam sebuah mata pelajaran beliau:”Kamu tidak cukup sekedar belajar dikelas, kamu mesti belajar melalu peristiwa (Tarbiyat-u ‘l Ahdatsah)”. Dari sekian banyak pertemuan, saya memetik sebuah pelajaran berharga tentang makna konsistensi perjuangan dakwah. Bahwa hidup adalah amanah yang mesti diperjuangan. Karena kita tidak sekedar terikat dengan ‘kontrak’ batas usia saja, tapi mesti dilukis dengan kuas perjuangan.

     Umat kembali berduka kehilangan putra terbaiknya. Saya pun bersedih kehilangan ‘cermin bening’ yang memantulkan nilai-nilai kesejatian, kejujuran dan pola hidup yang sederhana. Saya tahu beliau bukan tokoh sembarangan, tapi hidupnya amat sederhana. Jangankan memiliki sebuah rumah megah, kendaraan merek terbaru, dan segudang atribut dunia lainnya. Kediaman beliau pun hanyalah milik pesantren. Saya pun diam diayun gundah-gelisah, kehilangan sosok yang menjadi ‘hati-nurani’ umat. Semuanya telah berlalu dan tak mungkin kembali!.

      Selamat jalan ustadz sekaligus ‘ayahanda’ yang selalu melekat dihati anak-anaknya, saya hanya bisa berdoa:"Allahumma fighrlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu wawakrim nuzulahu wawashi’ madkhalahu….”. Innalillahi wainna ilaihi raaji’un.

Wassalam,

Ardhil Kinanah, penghujung musim panas, 23 September 2001

* Wafat; Jum’at, 14 September 2001, jam 13.00 BBWI di Rumah Sakit Internasional Surabaya, Jawa Timur. Dalam perjalanan memenuhi undangan khutbah Jum’at di kota Surabaya.

Prev: Malu Aku Memiliki Indonesia!
Next: Apresiasi: 'Keterasingan' Seorang Kelam*

3 comments:

  1. Wah Semoga Sukses selalu dalam menuntut ilmu
    Sukses di Dunia dan Akhiorat
    Salam Silaturahmi dan persahabatan

    ReplyDelete
  2. salam. saya dari malaysia ,insha ALLAH ingin ziarah semarang , demak, kudus dan seterusnya ke pondok gontor di ponorogo dan berakhir di persi Bangil pada 30 oktober hingga 6 november 2012.

    Dari Kuala Lumpur , mungkin saya turun di Semarang atau Jogja. Bagaimanakah yang paling bagus ittinary nya. cadangan saya:

    1. Jogja ke semarang , ada direct bis ke? kalau ada termnal nya di mana dan berapa ongkosnya? ada kereta ke dari jogja ke semarang?
    2. Semarang Demak dan Kudus naik bis ke?
    3. Dari Kudus ke Ponorogo ada bis ke?
    4. Bagaimana kalau dari Kudus ke Solo , kemudian dari Solo ke pondok Gontor di Ponorogo dan dari Ponorogo ke Persis Bangil? Mana yang paling bagus rutenya.

    Sekian makasih. wassalaam

    ReplyDelete
  3. Kenapa nggak turun Juanda Surabaya

    ReplyDelete