A.Hasan salah seorang tokoh pembaharu Islam di awal abad ke-20, menulis tafsir yang diberi nama tafsir al-Furqan.Tokoh Persis ini menulis tafsirnya dari tahun1920 hingga 1950. Beberapa juz yang telah selesai ditafsirkan lalu diterbitkan pertama kali tahun 1928. Atas desakan anggota Persis, ia kembali menerbitkan tafsirnya tahun 1941, tidak lengkap 30 juz hanya sampai surat Maryam.
Barulah pada tahun 1953, atas bantuan seorang pengusaha yaitu Sa'ad Nabhan tafsir al-Furqan dilanjutkan penulisannya secara keseluruhan dari juz pertama sampai juz 30, hingga pada akhirnya dapat diterbitkan pada tahun 1956. Oleh karena tafsir al-Furqan ditulis pada masa yang telah lampau, maka bahasa Indonesia yang digunakan tidak seperti bahasa Indonesia yang ada dan difahami pada masa kini.
Banyak kata-kata dulu yang berbeda pemahamannya pada masa sekarang ini. Seperti "ketua kaum" yang berarti 'pemuka' atau 'pemimpin kaum', atau "sebarang syak" yang memiliki pengertian 'tidak ada keraguan sedikitpun', atau struktur kalimat yang dapat memberikan pemahaman yang keliru seperti "Hal keadaan mereka kekal padanya selama-lamanya, karena sesungguhnya Allah itu di sisinya ada ganjaran yang besar" (QS. 9:22)
Dalam menyusun tafsirnya, A.Hasan memulai dengan menuliskan pendahuluan yang terdiri dari 34 pasal. Di dalamnya dijelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan al-Qur'an dan tafsirnya. Di antaranya ia menjelaskan mengenai beberapa istilah dalam bidang tafsir.
Metode tafsir yang dipakai A.Hasan adalah mula-mula ia menerjemahkan ayat-ayat al-Qur'an dengan menggunakan metode harfiah, yaitu penerjemahan kata demi kata. Kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan dengan metode ini, maka ia menggunakan metode maknawiyah. Selanjutnya ia memberikan kesimpulan bahasan setiap akhir surat.
Profil Kitab
Tafsir Qur'an Al-Furqaan ini adalah karya besar dan penting yang dimiliki oleh (Alm.) A. Hasan. Penulisan tafsir ini merupakan langkah pertama dalam sejarah penerjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Indonesia.
Penulisan tafsir Al-Furqan berlangsung berlangsung dalam kurun waktu 1920-1950-an. Terbagi kedalam empat edisi penerbitan sampai sekarang. Edisi pertama diterbitkan pada tahun 1928, akan tetapi dalam edisi pertama ini belum seperti yang diharapkan, karena baru dapat memenuhi sebagian ilmu yang diharapkan oleh umat Islam Indonesia. Kemudian sebagai pemenuhan desakan anggota Persatuan Islam, edisi ke dua tafsir tersebut dapat diterbitkan pada tahun 1941, namun ketika itu hanya sampai surat Maryam. Selanjutnya pada tahun 1953, penulisan kitab tafsir tersebut dilanjutkan kembali atas bantuan seorang pengusaha yang bernama Sa'ad Nabhan hingga akhirnya tulisan Tafsir Al-Furqan dapat diselesaikan secara keseluruhan (30 juz) dan dapat diterbitkan pada tahun 1956, yang kemudian tahun 2006, tafsir al-Furqan kembali diterbitkan oleh Pustaka Mantiq bekerjasama dengan Universitas al-Azhar Indonesia, dalam satu jilid.
Metode penerjemahan tafsir al-Furqan ini menggunakan metode harfiah, yaitu penerjemahan kata demi kata, kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan secara harfiah, akan tetapi penulis menggunakan metode maknawiyah. Selanjutnya ia memberikan kesimpulan bahasan pada setiap akhir surat.
TOKOH DAN METODOLOGI PENAFSIRANNYA
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa metode tafsir yang dipakai A. Hassan adalah metode harfiyah, yaitu penerjemahan kata demi kata. Kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan dengan metode ini, maka ia menggunakan metode maknawiyah. Seperti perkataan beliau yang kami kutip dari muqadimah kitab Al-Furqan cetakan Pustaka Mantiq yang bekerja sama dengan Universitas A-Azhar Indonesia Cetakan 2006, "Dalam menerjemahkan ayat, sedapat mungkin saya lakukan pad setiap kata. Jika cara itu tidak dapat dilakukan, baru saya menerjemahkan suatu kata dengan melihat maknanya, karena menurut saya, cara itu akan berguna bagi orang yang teliti dalam melihat tejemahan." Hal ini dilakukan oleh penulis dengan maksud berusaha mempertahankan sepenuhnya nuansa teks asli dalam terjemahnya. Akan tetapi metode ini pula diakui oleh beliau tidak menghasilkan terjemahan yang mudah difahami oleh setiap orang yang membacanya, dan tidak begitu sejalan dengan kaedah-kaedah bahasa Indonesia. Sehingga dalam beberapa hal beliau menerjemahkan secara maknawiyah.
Contoh penerjemahan beliau ketika menerjemahkan secara maknawiyah, seperti ketika beliau menerjemahkan 'qaala lahu'. Ketika diterjemahkan kata perkata berarti 'dia berkata baginya', tapi beliau menerjemahkan 'dia berkata kepadanya'. Contoh lain 'aamanaa billaahi', biasanya diterjemahkan dia percaya dengan Allah', tetapi beliau terjemahkan ' dia percaya kepada Allah'.
Dalam penerjemahan ayat-ayat al-Qur'an, A. Hasan memberikan tekanan yang berbeda. Seperti, menurut bahasa Arab, frasa al-hamdu lillaahi diterjemahkan dengan 'segala puji (hanya milik) Allah, Tuhan semesta alam', tetapi Lillaahil-hamdu diterjemahkan 'kepunyaan Allah-lah segala pujian'. Na'buduka diterjemahkan 'kami menyembah-Mu' tapi iyyaka na'budu diterjemahkan hanya Engkaulah yang kami sembah'. Huwa samii'un diterjemahkan 'Dia Yang Mendengar', tetapi huwa samii'u diterjemahkan Dialah Yang Maha Mendengar'.
Adapun jika kita lihat, sebenarnya metode penerjemahan harfiyah ini merupakan bagian dari pada metode ijmali (global). Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini juga mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Dalam metode ini, mufassir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyiasakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.
Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili (analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain :
- Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
- Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas.
- Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Azbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap hal : a. peristiwa b. pelaku, dan c. waktu.
- Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in maupun tokoh tafsir
KEISTIMEWAAN METODOLOGINYA
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.
Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode tematik. Kedua metode tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara metode ijmali tidak sepopuler kedua metode tersebut. Adapun keistimewaannya dapat kita lihat dari cirri-ciri khas metode ijmali, antara lain:
- Mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul, seperti yang terjadi pada metode komparatif (muqaran) dan metode maudhu’I (tematik).
- Penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebih sanat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang mufasir untuk memperkawa wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.
- Dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan agak luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis. Artinya, walaupun ada beberapa ayat yang ditafsirkan agak panjang, hanya sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.
ANALISA DAN KRITIK
Sebelum kita melihat lebih dalam tentang tafsir al-furqan baiknya kita mengetahui terlebih dahulu sebagai bahan perenungan apa itu tafsir, ta'wil dan terjemah. Apa bedanya tafsir dengan ta’wil dan tafsir dengan terjemah Qur’an.
Perbedaan Tafsir, Ta'wil dan Terjemah
- Tafsir : Istilah tafsir bagi kita sudah begitu masyhur, populer. Istilah tafsir tidak hanya digunakan sebagai penjelas-penjelas mengenai kitabullah saja, akan tetapi juga digunakan untuk istilah lain juga, seperti: tafsir undang-undang, tafsir qanun asasi (bagi suatu organisasi), dan lain sebagainya. Secara bahasa arti tafsir adalah menjelaskan dan merinci. Sementara terminology dari tafsir seperti yang diungkapkan az-Zahaby dalam at-tafsir wal mufassiruun adalah Pengetahuan yang membahas maksud-maksud Allah (yang terkandung dalam al-Qur'an) seauai dengan kemampuan manusia, maka dia mencakup sekalian (pengetahuan) untuk memahami makna dan penjelasan dari maksud (Allah) itu.
- Ta'wil : Adapun ta'wil berbeda dengan tafsir. Menurut ulama salaf, ta'wil mengandung dua pengertian, yaitu: Ta'wil ialah mena'wilkan kalamullah dan menjelaskan pengertiannya, baik sesuai dengan makna dzahir dan bertentangan.
- Terjemah : Menurut bahasa terjemah artinya memindahkan kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain (alih bahasa). Sedangkan menurut istilah adalah mengungkapkan pengertian kalimat dalam suatu bahasa dengan kalimat bahasa lain lengkap dengan seluruh pengertian dan maksud-maksudnya.
Maka menurut pendapat ini kata ta'wil muradif (sinonim) dengan kata tafsir. dan Ta'wil ialah maksud kalimat itu sendiri, jika kalimat itu menunjukan tuntutan (perintah atau larangan), maka takwilnya adalah perbuatan yang ditntut itu. Jika kalimat itu berupa khabar, maka takwilnya adalah sesuatu yang diberitaka itu.
Adapun menurut ulama mutaakhirin, para ahli fiqih, ahli ilmu kalam, ahli hadits dan ahli ilmu tasawuf, takwil adalah memalingkan lafaz dari makna yang rajah kepada makna yang marjuh karena ada dalil yang menghendaki.
Perbedaan antara tafsir dengan ta'wil, menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani ialah tafsir itu lebih umum dari pada ta'wil. Kebanyakan penggunaan tafsir itu dalam lafadz, sedangkan ta'wil dalam makna menafsirkan mimpi. Kebanyakan ta'wil itu dipergunakan dalam kitab-kitab Tuhan, sedangkan tafsir dipergunakan dalam kitab-kitab Tuhan lainnya. Kebanyakan tafsir dipergunakan dalam mufradat lafadz. Ta'wil itu kebanyakan dipergunakan dalam kalimat-kalimat.
Perbandingan Terjemahan dengan Tafsir
Dalam kaitannya dengan istilah menterjemah Al-Qur'an, Az Zurqany membaginya kae dalam dua bagian, yaitu:
- Terjemah harfiyah, yaitu terjemah yang susunan dan urutan-urutan katanya selalu terpelihara, sehingga menterjemah itu sama dengan sama dengan meletakan kata-kata persamaan (sinonim) dengan sinonimnya (ke dalam bahasa baru). Sebagian orang menyebut terjemahan ini dengan terjemah lafdziah (leterlijkl) dan sebagian orang menyebutnya dengan musawiyah.
Menurut Alwi bin As-Syayyid Abbas, bahwa terjemahan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
- Terjemahan harfiyah bil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan kata persamaan dari bahasa baru, tanpa menghiraukan makna kalam asli, akan tetapi sudah terpancang pada susunan urut lafaz bahasa asli.
- Terjemah harfiyah bi duunil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan kata persamaan dari bahasa yang baru, dengan memperhatikan urut makna dan rahasia sastra di bawah kemampuan bahasa yang baru dan kemampuan orang yang menterjemahkan.
- Terjemah tafsiriyah/maknawiyah, yaitu terjemah yang tersusun dan urutan-urutan kata-katanya tidak terpelihara. Yang dipentingkan ialah baiknya pengertian-pengertian dan tujuan-tujuannya secara sempurna. Oleh karena itu disebut juga dengan terjemahan maknawiyah. Dan disebut tafsiriyah karena baiknya pengertian dan tujuan dari pada kalam sehingga menyerupai tafsir, namun bukan tafsir.
Makna Metode Terjemah Harfiyah dalam Al-Furqaan
Metode terjemah harfiyah di sini maksudnya adalah seperti sebagai berikut:
- Qur’an ketika masih dalam bentuk Arabnya, seperti yang bisa ditemui dalam mushaf, merupakan wujud awal yang berasal dari bahasa Allah sebagai Tuhan. Namun, setelah Qur’an itu diterjemahkan, Qur’an dalam bentuk yang kedua ini merupakan hasil ijtihad seorang manusia yang mencoba memahami dan mengalih bahasakan bahasa Tuhan ke dalam bahasa manusia. Di sinilah kerja penerjemah mempunyai kesamaan yang asasi dengan kerja penafsir. Dimana seseorang harus menggunakan ijtihad dalam menerjemahkan suatu ayat dalam hal memilih makna yang tepat, seperti halnya dalam terjemah maknawiyah yang disebut juga terjemahan tafsiriyah. Sehingga kemungkinan dengan adanya penerjemahan maknawiyah inilah yang menyebabkan al-Furqaan dikatakan sebagai kitab tafsir.
- Satu sisi bahasa Arab terlalu kompleks untuk dimaknai dengan bahasa Indonesia, yang pada banyak bagian masih terbatas dalam memberikan padanan terhadap konsep kata dalam bahasa Arab. Sebagai contoh kata خوف dan kata خشية , yang keduanya dalam bahasa Indonesia diartikan ‘takut’. Padahal, masing-masing mempunyai konsekuensi semantik yang berbeda. Kata خشية mempunyai nilai cakupan semantik lebih tinggi daripada kata خوف. Kata خشية mengandung arti ‘rasa takut yang besar bercampur baur dengan rasa hormat, meskipun orang yang takut itu adalah orang kuat’, sedangkan kata خوف lebih berarti ‘ketakutan yang disebabkan oleh ketakutan orangnya, meskipun sesuatu yang ditakuti itu bukanlah hal yang layak untuk ditakuti’.
Oleh karena itu makna harfiyah dalam al-Furqaan adalah pengalihan bahasa yang mengindikasikan kepada tafsiran ayat dengan metode pemilihan arti kata yang sesuai dan mengena untuk menghasilkan makna yang dapat dimengerti.
Tafsir Al-furqaan Lebih Cenderung Sebagai Terjemah Al-Qur'an
Ketika melihat tafsir Al-Furqan, dan membuka lebaran-lembarannya, maka kesan awal yang tersirat adalah bahwa itu sebuah kitab terjemah Al-Quran, bukan kitab tafsir. Karena tidak ada kesan seperti kitab tafsir pada umumnya.
Al-Furqaan layajnya seperti terjemah Al-qur'an sebagaimana terjemahan yang lainnya, yang dibubuhi dengan catatan kaki. Itupun tidak semua surah ada catatan kakinya, bahkan ada surah yang sama sekali tidak ada catatan kakinya, seperti surah Quraisy.
Berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lainnya, dimana penjelasan atas suatu ayat terurai panjang dengan menyertakan dalil-dalilnya, baik tafsir itu ma'tsur ataupun ra'yi, seperti halnya tafsir Ibnu Katsir, tafsir Hamka dan lainnya.
Seperti diurai diatas, tafsir dan terjemahan berbeda secara definisi dan juga penempatannya. Jika tafsir adalah mengurai makna-makna. hukum-hukum, dan hikmah-hikmahnya, sementara terjemah hanyalah sebatas memindahkan bahasa Al-Qur'an ke dalam bahasa-bahasa lainnya.
Adapun metode harfiah yang dimaksud adalah metode dalam penerjemahan, bukan dalam penafsiran. Seperti yang telah diurai di atas, dalam penerjemahan ini A. Hasan cenderung memakai metode terjemah harfiyah dan kemudian ada beberapa bagian yang diterjemahkan secara maknawiyah. Jika dikatakan Al-Furqaan adalah tafsir, maka yang jadi pertanyaan adalah, apa metode yang dipakai?
Perhatikan dengan seksama tentang catatan-catatan yang A. Hasan bubuhkan pada al-furqaan. Catatan –catatan tersebut singkat dan hanya menjelaskan maksud ayat yang kurang jelas secara singkat dan umum. Melihat dari sana, maka metode yang dipakai oleh A. Hasan dalam menafsirkan Al-Quran adalah dengan memakai metode ijmali.
Adapun metode ijmali A. Hasan terkesan hanya seperti terjemah biasa yang dibubuhi catatan-catatan kecil. Sementara jika kita rujuk kepada definisi tafsir secara umum, bahwa tafsir merupakan ilmu memahmi al-Qur'an dengan menjelaskan makna-maknanya, hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya yang didukung dengan ilmu-ilmu ushul lainnya. Lalu jika tafsir al-Qur'an hanya seperti itu (seperti terjemah al-Qur'an biasa), maka kita tidak dapat memahami apa-apa, atau sebatas apa yang kita fahamai pada terjemahnya saja. Adapun yang tersirat di dalam ayat-ayat al-Quran yang syarat dengan makna tidak kita dapatkan secara eksplisit.
Metode Ijmaly dalam Tafsir Al-furqaan
Seperti yang telah disebut di atas, A. Hasan memakai metode ijmali dalam menafsirkan al-Qur'an. Dimana tafsir itu hanya menafsirkn ayat secara global, sehingga makna-makana yang tersirat di dalamnya tidak dapat diungkap secara eksplisit.
Ketika kita membuka tafsir Al-Furqaan dan melihatnya sebagai sebuah kitab tafsir, maka metodologi apa yang diterapkan akan membuat kita sedikit kebingungan dalam mencernanya. Pasalnya disana tidak ada hal-hal yang menunjukan bahwa itu adalah tafsir. Seperti dalil-dalil misalnya. Adapun catatan-catatan kaki yang ada terlalu singkat dan umum, dan juga tidak ada yang bisa meguatkan (dalil) dari mana catatan-catatan itu bisa ada sehingga sifat-sifat ilmiyahnya terkurangi dengan hal itu.
Mengapa tafsir al-Furqan dikatakan menggunakan metode ijmali? Jika dikatakan manhaj yang dipakai adalah secara ma'tsur, maka mana dalil-dalil yang menguatkannya, ayat al-Quran, hadits, atsar ataupun perkataan tabi'in? tidak ada. Maka tidak bisa dikatakan dalam kitab ini (al-furqaan) manhaj penafsirannya secara ma'tsur.
Lalu bagaimana dengan metode yang lainnya, bil ra'yi, tahlili, ijmali? jika kita lihat, seperti yang telah diuraikan di atas, metode yang dipakai oleh A. Hasan cenderung ke arah ijmali.
Sebagai perbandingan, ataupun supaya lebih jelas, saya cantumkan tiga contoh surat yang diambil dari kitab tafsir al-Furqaan edisi 2008 yang diterbitkan oleh CV. Mantiq Jakarta.
CONTOH :Surat at-Takatsur
- Berlebih-lebihan telah melalaikanmu,1
- Hingga kamu melawat kubur.2
- Tidak sekali-kali,3 (bahkan) kamu akan mengetahui
- Dan 4 tidak sekali-kali, (bahkan) kamu akan mengetahui.
- Tidak sekali-kali, 5 (alangkah baiknya) kalau kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.
- Sesungguhnya kamu akan melihat neraka itu,
- Dan sesungguhnya kamu akan melihatnya dengan penglihatan yang yakin,
- Kemudian sesungguhnya kamu akan diperiksa pada hari itu tentang kenikmatan.5
Catatan :
- Kamu telah lalai karena harta benda, kemuliaan, kesenangan dan banyak lainnya.
- yakni, hingga kamu mati.
- Persangkaanmu bahwa harta dan kemuliaanmu dapat menolongmu itu tidak benar sama sekali.
- Kata sambung "dan" dalam dua ayat itu padanan dari kata "tsumma' yang makna asalnya adalah 'kemudian', tetapi dibeberapa tempat dipakai dengan arti "dan".
- Kamu akan diperiksa, untuk urusan apa kamu membelanjakan nikmat-nikmat pemberian…
CONTOH : Surat al-Ma'un
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan diin?1
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.2
4. Kecelakaan akan didapat oleh orang-orang yang shalat,3
5. yang lalai dari shalatnya,4
6. yang riya',5
7. Dan enggan memberikan pertolongan.6
Catatan :
- Kata diin dapat berarti agama, pembalasan, atau ibadah.
- Orang yang dimaksud di dalam ketiga ayat ini adalah orang munafik.
- Kecelakaan di akhirat akan menimpa orang-oarang munafik seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas, yang shalat bersama orang-orang Islam.
- Yang lalai dari memperhatikan isi shalatnya, Karen memang mereka tidak shalat karena Allah.
- Yang berbuat sesuatu supaya dilihat dan dipuji orang lain.
- Yakni, tidak mau member pertilingan kepada orang islam atau untuk urusan islam.
CONTOH : Surat al-Ashr
- Perhatikanlah masa.
- Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian,
- Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal baik dan saling berpesan untuk (menjalankan) kebenaran dan saling berpesan untuk (menjalankan) kesabaran.1
Catatan :
- Manusia hidup dalam masa. Masa itu penting. Merugilah manusia yang melewatkan masanya dengan tidak mengerjakan kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungannya.
Perhatikan tiga surat pendek di atas! Itu adalah cuplikan dari tafsir al-Furqan terbitan CV. Mantiq Jakarta. Teliti terjemahannya dan catatan-catatannya. Sepintas seperti terjemahan biasa. Lihat pula cara A. Hasan menerjemahkan ayat. Kita akan sedikit kesulitan dalam memahaminya. Struktur kalimat yang digunakan sesuai dengan struktur dalam bahasa aslinya. Proses terjemah dilakukan per-kalimat (kata) tanpa merubah strukturnya. Itulah yang disebut sebagai metode Terjemahan harfiyah bil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan kata persamaan dari bahasa baru, tanpa menghiraukan makna kalam asli, akan tetapi sudah terpancang pada susunan urut lafaz bahasa asli.
Kemudian kenapa metodologi penafsirannya ijmali (global)? Perhatikan surat al-'ashr! Tiga ayat yang ada dalam surat tersebut hanya ditafsirkan dengan singkat saja. Tanpa diterangkan Masa itu apa, bagaimana, seperti apa, lalu kerugian yang bagaimana yang dimaksudkan di sana, dampaknya dan lain sebagainya. Kemudian mana dalilnya. Sementara dalam al-furqan hanya dituliskan keterangan dari A. Hasan saja, adapun dalil-dalilnya tidak diungkapkan.
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Al-Furqaan karya A. Hasan merupakan sebuah kitab tafsir Quran yang baik dan lintas orang. Maksudnya al-furqan A. Hasan ini cocok dibaca dan menjadi referensi bagi semua orang, baik yang awam maupun yang telah mafhum dan berilmu, karena penjelasannya yang singkat dan umum.
Metode harfiyah dalam kitab al-furqaan adalah metode dalam penerjemahannya bukan dalam hal penafsiran, karena berbeda antara terjemah dengan tafsir. Adapun dalam hal penafsiran a. Hasan menggunakan metode ijmali Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini juga mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Sebenarnya al-furqaan cenderung kepada terjemah al-Qur'an, bukan tafsir. Ini terkait dengan definisi tafsir yang menggariskan bahwa tafsir itu merupakan Pengetahuan yang membahas maksud-maksud Allah (yang terkandung dalam al-Qur'an) sesuai dengan kemampuan manusia, maka dia mencakup sekalian (pengetahuan) untuk memahami makna dan penjelasan dari maksud (Allah) itu, seperti yang diungkapkan az-Zahaby dalam at-tafsir wal mufassiruun. Adapun catatan-catatan akhir itu, bagi pemakalah kurang mewakili apa yang harus ditafsirkan.
Akhirnya, kami menyimpulkan secara keseluruhan, tafsir Al-Furqaan baik untuk digunakan. Yang awam maupun bagi yang 'aalim. Adapun Segala usaha A. Hasan patut di banggakan dan disyukuri. Dengan adanya tafsir beliau kita tercerahkan dalam hal ini.
Sesungguhnya dengan segala keluasan ilmu yang dimilikinya, pemakalah tidak pantas ataupun terlalu lancang untuk mengoreksi dan mengkritisi karya besar A. Hasan tersebut. Apalagi dengan kapasitas keilmuan pemakalah yang masih tertatih-tatih dalam meraihnya. Ibarat bumi dengan langit, masih terlalu jauh pemakalah dalam mengejar ilmu beliau.
Adapun makalah ini, kami persembahkan untuk dosen kami dalam rangka memenuhi tugas beliau pada materi kuliah 'ulumul Quran, dalam bab tafsir al-Qur'an. Kekurangan dan kesalahan tentunya sudah lazim bagi kita umat manusia. Apalagi kami yang masih tertatih di tangga awal sebagai thaalib. Karena yang ma'sum hanyalah junjungan kita Rasulullah Muhammad saw..
Untuk itu, dengan segala yang ada dalam makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada sekalian pembaca. Kami buka pintu sebesar-besarnya bagi para pembaca yang akan berapresiasi terhadap makalah ini.
Kami memohon ampun kepada Allah dan menyerahkan segala urusan kepadanya.
ttd
pemakalah
No comments:
Post a Comment